Dedicated for those who are still dreaming and fighting for a better Indonesia.
"Kamis, 10 Agustus 1995, adalah hari
bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari itu menandai kesuksesan putra-putri
Indonesia menghadirkan teknologi canggih di Bumi Pertiwi. Hari itu kita
membuktikan bahwa kita sesungguhnya mampu berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa
lain yang lebih dahulu menguasai teknologi canggih, teknologi dirgantara,
teknologi pesawat terbang. Saya hanya bisa terdiam dan berdoa kepada Allah SWT
semoga hasil rekayasa teknologi tinggi ini dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya.
Inilah hasil karya generasi penerus yang
dipersembahkan untuk ulang tahun emas, ulang tahun ke-50, Republik Indonesia.
Generasi penerus yang ada di IPTN telah mencurahkan pikiran dan tenaga. Mereka
dengan tekun bekerja keras, hampir tak mengenal waktu istirahat, untuk
melahirkan pesawat N-250. Mereka patut dibanggakan.
Mereka pun bangga karena pada usia relative
muda antara 20-40 tahunan sudah dipercaya mengerjakan pekerjaan yang amat
canggih. Pekerjaan rekayasa teknologi tinggi ini membuktikan bahwa banga
Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia dalam kemampuan menguasai
teknologi tinggi.
Saat yang dinanti-nantikan dengan berdebar
akhirnya tiba. Tepat pukul 10.08 WIB di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, prototype
pesawat N-250 meluncur di landasan pacu. Puluhan ribu pasang mata, seperti
menahan nafas menanti detik-detik N-250 Gatotkoco lepas landas. Meskipun sudah
melewati berbagai pengujian, namun tak sedikit karyawan dan teknisi yang
berdebar-debar mengingat N-250 itu merupakan pesawat yang baru lahir dan belum
pernah terbang. Inilah peristiwa dalam dunia penerbangan, sebuah peluncuran
pesawat, sekaligus bersamaan dengan terbang perdananya.
Tidak ada yang meragukan N-250 Gatotkoco
gagal terbang kecuali mereka yang tidak suka dengan penguasaan Iptek oleh
bangsa sendiri, semua orang menginginkan N-250 bisa terbang dengan mulus.
Mereka yang tidak senang, termasuk sejumlah pers luar negeri dan perusahaan
sejenis yang merasa tersaingi jika N-250 berhasil terbang, melakukan semacam “perang
urat syaraf” bahkan terror mental dengan meniupkan isu bahwa N-250 Gatotkoco
tidak bisa terbang.
Saya masih ingat tulisan di Majalah
Asiaweek edisi 11 Agustus 1995 yang mengatakan bahwa Habibie melakukan sesuatu
yang tidak normal, semestinya N-250 itu diuji secara diam-diam dahulu, baru
kemudian dipertontonkan kepada public. Asiaweek menilan bahwa N-250 tidak siap
terbang pada hari dan bulan itu, karenanya, ada kemungkinan akan terjadi
musibah.
Isu seperti ini yang menciptakan ketegangan
pada hadirin. Tak terkecuali Pak Harto dan Ibu Tien, Wapres Try Sutrisno dan
Ibu Tuty Try Sutrisno. Wajah-wajah yang menyaksikan upacara Terbang Perdana
tersebut tampak tegang saat N-250 hendak lepas landas.
Ketegangan itu mencair saat roda-roda pesawat
N-250 mulai terangkat dan terus naik meninggalkan bandara menembus angkasa
Bandung yang tampak cerah membiru.
Sorak sorai dan tepuk tangan menggema,
bangga bercampur haru. Mereka semua lega. Tak sedikit undangan yang menitikkan
air mata bahagia.
Pak Harto terlihat beberapa kali menyapu
wajahnya, membersihkan aliran air mata dengan sapu tangan putih. Bahkan Ibu
Tien dengan spontan memeluk dan menjabat tangan saya mengucapkan selamat.
Begitu pula dengan para undangan lainnya.
Mereka satu per satu mengucapkan selamat
pada Ainun dan Saya. Namun, saya sendiri saat itu tak menyadari semua ucapan
selamat itu. Saat itu saya seperti kehilangan kesadaran. Ainun istri saya yang
sepanjang masa telah menyatu dan manunggal dengan saya, melihat ada sesuatu
terjadi pada diri saya, mengatakan saya harus bertahan.
Saat itu pula pikiran saya melayang
membawa saya ke Aachen. Yaitu, ketika saya terbaring sakit di sebuah rumah sakit
di kota itu. Kala itu saya adalah mahasiswa berusia 21 tahun. Hidup di rantau
dalam kondisi sakit parah, dan harapan hidup yang menipis.
Dalam suasana tanpa kepastian hidup
itulah muncul sesuatu bagaikan sebuah mukjizat dalam diri saya.. sebuah semangat
yang bergelora dalam diri saya untuk bisa tampil mempersembahkan pengabdian
kepada Ibu Pertiwi. Tapi apa bisa? Dan bagaimana? Sebab saya tak berdaya ,
terbaring di rumah sakit. Namun, saya tiba-tiba tergerak untuk menyampaikan sumpah
yang saya tulis dalam sebuah puisi, yang berjudul “Sumpahku”.
Sumpah inilah yang telah memotivasi
saya. Saya ingin mempersembahkan sesuatu kepada Tanah Air Tercinta. Sumpah itu
telah menjelma menjadi suatu pernyataan sikap dan penyerahan diri secara total
kepada bangsa dan Tanah Air. Sejak sumpah itu, saya selalu berdoa semoga Allah member
umur panjang dan sisa umur saya Insya Allah akan saya serahkan sepenuhnya untuk
berbakti kepada Ibu Pertiwi. Sebab semua itu adalah karunia Allah.
Sumpah ini telah membuat saya
bekerja siang dan malam. Bekerja tanpa mengenal waktu untuk bangsa dan Negara.
Mempersembahkan karya teknologi dan puncaknya adalah pesawat N-250 yang diakui
dunia sebagai karya besar. Sebuah pesawat yang tercanggih di kelasnya dan
diberi nama “Gatotkoco”."
Kutipan dari buku : Habibie dan Ainun, Bab 24.